I made this widget at MyFlashFetish.com.

Sabtu, 03 April 2010

VIDEO Syariat Rahmat untuk Semua: “Bangsa Ini Harus Bertobat”

VIDEO Syariat Rahmat untuk Semua: “Bangsa Ini Harus Bertobat”

Kewajiban Menegakkan Khilafah


(Tafsir QS al-Baqarah  [2]: 30)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla Rabbuka li al-malâikah (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat). Huruf idz merupakan zharf az-zamân (kata keterangan) untuk menunjukkan waktu lampau.[1] Dalam konteks kalimat ini, huruf tersebut menyimpan kata udzkur (ingatlah). Khithâb-nya ditujukan kepada Rasulullah saw. Ini terlihat pada dhamîr mukhâthab ka pada kata Rabbuka yang menunjuk kepada beliau. Karena itu, Ibnu Katsir, al-Wahidi dan beberapa mufassir lain memaknainya: Ingatlah, wahai Muhammad, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.[2] Seruan kepada Rasulullah saw. berarti juga seruan kepada umatnya.
Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt. terlebih dulu memberitakannya kepada para malaikat. Kata al-malâikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak.
Kepada para malaikat itu Allah Swt. berfirman: Innî jâ’il[un] fî al-ardhi khalîfah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata jâ’il[un] bermakna khâliq[un].[3] Adapun al-ardh adalah seluruh bumi yang kini ditempati manusia. Di situlah Allah Swt. akan menjadikan khalîfah.
Kata khalîfah berasal dari kata khalîf (wazan fa‘îl). Tambahan huruf al-hâ’ berfungsi li al-mubâlaghah (untuk melebihkan).[4] Kata khalîfah berarti suatu pihak yang menggantikan lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Secara bahasa, seluruh mufassirin sepakat, yang dimaksud dengan khalîfah di sini adalah Adam as.[5] Namun, di antara mereka terdapat beberapa pendapat:  khalîfah bagi siapakah Adam itu?
Pertama: khalîfah bagi jin atau banû al-jân.[6] Alasannya, sebelum manusia diciptakan, penghuni bumi adalah banû al-jân. Namun, karena mereka banyak berbuat kerusakan, Allah Swt. kemudian mengutus para malaikat untuk mengusir dan menyingkirkan mereka. Setelah mereka berhasil disingkirkan sampai di pesisir dan gunung, Adam as. diciptakan untuk menggantikan kedudukan dan posisi mereka.
Kedua: khalîfah bagi malaikat. Demikian pendapat asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi.[7] Sebab, setelah berhasil menyingkirkan banû al-jân, malaikatlah yang tinggal di bumi. Karena itu, yang digantikan Adam as adalah malaikat, bukan jin atau banû al-jân.
Ketiga: disebut khalîfah karena mereka menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir.[8] Pendapat ini didasarkan pada QS al-An‘am: 165, an-Naml: 62, az-Zukhruf: 6, dan Maryam 59.[9]
Keempat: menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi.[10] Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.[11] Menurut al-Qasimi, kesimpulan ini didasarkan pada QS Shad: 26.
Di antara keempat penafsiran itu, penafsiran keempat tampaknya lebih dapat diterima. Penafsiran ketiga, meskipun tak bertentangan dengan fakta kehidupan, respon malaikat menunjukkan, kedudukan khalifah tak sekadar itu. Menurut para malaikat, khalifah di muka bumi itu haruslah ahl al-thâ‘ah, bukan ahl al-ma‘shiyyah. Jika kedudukan sebagai khalifah hanya merupakan siklus kehidupan, generasi digantikan dengan generasi berikutnya, tentu tak mengharuskan khalifah dari kalangan ahl al-thâ‘ah.
Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk menolak penafsiran pertama dan kedua jika peristiwa itu benar-benar terjadi. Sebagai catatan, penafsiran pertama dan kedua didasarkan pada hadis mawqûf yang tidak dapat menghasilkan keyakinan.  Dalam frasa berikutnya disebutkan: Qâlû ataj’alû fîhâ man yufsidu fîhâ wa yafsiku dimâ’ (Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.”).
Kata fasâd berarti kerusakan. Kerusakan di bumi itu adalah kekufuran dan segala tindakan maksiat.[12] Adapun yang dimaksud dengan menumpahkan darah adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syariah. Sebenarnya, pembunuhan secara zalim itu termasuk dalam cakupan fasâd atau kerusakan. Disebutkannya secara khusus setelah ungkapan umum (athf al-khâsh ’alâ al-’âmm) itu menunjukkan besarnya maksiat dan kerusakan yang ditimbulkan akibat pembunuhan.
Dari manakah para malaikat mengetahui sifat-sifat buruk manusia itu, padahal manusia belum diciptakan? Pengetahuan itu berasal dari: pemberitahuan Allah Swt.; bisa pula dari al-lawh al-mahfûzh; berdasarkan analogi terhadap sifat banû al-jân yang sebelumnya menghuni bumi;[13] bisa juga dari pemahaman mereka terhadap tabiat basyariyyah, yang sebagiannya telah diceritakan Allah Swt.—bahwa mereka diciptakan dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS al-Hijr: 26); atau  dari pemahaman mereka dari kedudukan khalifah yang bertugas menyelesaikan kezaliman yang terjadi di antara manusia dan mencegah manusia dari perkara haram dan dosa.[14]    
Selanjutnya mereka juga berkata: wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka (padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?). Ber-tasbîh kepada Allah Swt. berarti mensucikan-Nya dan menjauhkan-Nya dari segala sesuatu yang buruk dalam kerangka ta‘zhîm.[15] Adapun men-taqdîs-kan Allah Swt. bermakna mensucikan-Nya dan menjauhkan segala sesuatu yang tidak pantas dari-Nya.[16]
Patut dicatat, para mufassir sepakat bahwa pertanyaan para malaikat itu bukan dimaksudkan untuk membantah kehendak Allah Swt. atau dilandasi sikap hasud terhadap Adam as. Sebab, mereka adalah hamba Allah yang mulia, taat, dan tidak pernah membangkang perintah-Nya (QS at-Tahrim: 6; al-Anbiya’: 26-27). Perkataan mereka semata-mata bertujuan untuk meminta kejelasan atau untuk mengungkap hikmah tersembunyi di balik penciptaan itu.[17] 
Allah Swt. menjawab pertanyaan malaikat itu: Innî a’lamu mâ lâ ta’lamûn (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui). Artinya, Allah lebih mengetahui kemaslahatan yang râjih pada penciptaan itu. Sesungguhnya Dia akan mengutus para rasul di tengah-tengah manusia. Di antara mereka juga ada orang-orang yang membenarkan (ash-shiddiqûn), syahid, shalih, ahli ibadah, zuhud, wali, berbuat kebajikan, al-muqarrabûn, ulama  al-‘âmilûn, khusyuk, mencintai Allah, dan mengikuti rasul-rasul-Nya.[18]   
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Sebagaimana telah terungkap, kedudukan sebagai khalîfah mewajibkan manusia untuk memutuskan dan menerapkan perkara-perkara kehidupan dengan hukum-hukum Allah Swt.
Untuk keperluan itu, Allah telah mengutus para nabi dan rasul. Mereka semua diutus untuk menyampaikan kepada manusia risalah-Nya yang juga berisi hukum-hukum yang wajib diterapkan. Kendati dalam perkara akidah semua nabi dan rasul itu sama, yakni akidah tauhid, dalam perkara hukum mereka diberikan syir’ah dan minhâj yang berbeda-beda (QS al-Maidah [5]: 48). Masing-masing nabi dan rasul beserta umatnya wajib terikat dengan hukum yang berlaku buat mereka. Tatkala mereka menerapkan dan memutuskan hukum berdasarkan syariah-Nya, maka mereka telah melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah.
Kepada Nabi Muhammad saw., Allah telah memberikan dîn Islam. Sebagai dîn paripurna, Islam memiliki syariah yang syâmil kâmil (komprehensif lagi sempurna) (lihat QS an-Nahl [16]: 86 dan al-Maidah [5]: 3). Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang dibiarkan lepas begitu saja, tanpa diatur oleh Islam. Seluruh interaksi manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya sendiri, maupun antar sesama manusia diatur oleh Islam.
Seluruh hukum Islam wajib diterapkan (QS al-Maidah: 49, al-Hasyr: 7). Hanya saja, di antara hukum-hukum syariah itu: Pertama, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu seperti akidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak. Beberapa hukum mu’âmalah pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara seperti perdagangan, ijârah, pernikahan, warisan, dan sebagainya). Kedua, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada negara semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri; juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan atas setiap bentuk pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti tidak boleh dilakukan oleh individu. Semua hukum harus dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.
Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang bersifat dharûrî (sangat penting) untuk melaksanakan Islam. Tanpa ada sebuah negara, mustahil syariah bisa diberlakukan secara total.
Patut ditegaskan, negara yang ditetapkan Islam untuk menerapkan syariah adalah Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Rasulullah saw. bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Di tengah-tengah kalian terdapat masa kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah. (HR Ahmad).
Rasulullah saw. juga menetapkan, para khalifah adalah satu-satunya pihak yang bertugas mengatur dan mengurusi umatnya setelah Beliau wafat: 
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Khalifah itulah yang diwajibkan untuk diangkat dengan jalan baiat. Dengan adanya khalifah, kewajiban adanya baiat di pundak setiap Muslim dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika tidak ada khalifah, baiat yang diwajibkan itu tidak ada di pundak setiap kaum Muslim. Rasulullah saw. mencela keadaan tersebut dengan menyebut para pelakunya mati jahiliah. Beliau bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat, maka matinya dalam keadaan jahiliah. (HR Muslim).
Bertolak dari pemikiran ini, tak mengherankan jika al-Qurthubi menyatakan, ayat ini menjadi asal atau pokok bagi wajibnya mengangkat imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum khalifah.[19] Pendapat ini juga didukung az-Zuhaili.[20] Mereka menegaskan, seluruh ulama sepakat tentang wajibnya mengangkat khalifah di antara umat dan para imam. Menurutnya, hanya Abu Bakr al-Asham dari kalangan Muktazilah saja yang menyimpang dari pendapat tersebut.
Di samping ayat ini, kedua mufassir itu juga mendasarkan pada QS Shad: 26 dan QS an-Nur: 55. Para Sahabat juga berijmak untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq setelah perselisihan kaum Muhajirin adn Anshar di Saqifah Bani Saidah.[21]
Walhasil, Khilafah wajib ditegakkan. Setiap Muslim pun wajib turut berjuang  bahu-membahu menegakkan Khilafah yang menerapkan Islam dan menyebarkannya ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:




[1]   As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 174; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 220;  al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 132
[2]   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 90; al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 112; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.
[3]   Ini juga merupakan pendapat Hasan al-Basri. Sebagaimana dikutip al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 182; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 116.
[4]   Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 284; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.
[5]   Ibnu Juzy al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 60; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 1, 49; al-Baghawi, Al-Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1, 31; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.
[6]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1, 237; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 138.
[7]   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 77; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 33; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.
[8]   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 284.
[9]   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 284.
[10] Al-Baghawi, Al-Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 31; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 2, 222; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 61; Ibnu Juzy al-Kalbi, Al-Tasyhîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 1, 60; al-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 20
[11] Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 2, 222; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 49.
[12] Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 40ز
[13] An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 33; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 116.
[14] Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 285.
[15] Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126.
[16] Al-Wahidi, al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1, 40.
[17] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, ; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 50.
[18] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1, 116.
[19] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,  1993), 182.
[20] Al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.
[21] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1, 183; al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.

Hadist Pilihan : Kewajiban Mengangkat Kholifah


مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, niscaya ia akan menemui Allah kelak pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliah. (HR. Muslim) [1]
Sanad Hadis
Sanad hadis adalah rangkaian para perawi, yakni orang-orang yang meriwayatkan hadis, yang dijadikan sandaran oleh orang yang membukukan hadis atau orang yang mengeluarkan hadis (mukharrij).
Hadis ini dan yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Imam Muslim dari empat sanad yang semuanya berakhir pada Abdullah bin Umar bin al-Khaththab. Masing-masing sanad tersebut adalah:
Sanad pertama: dari Ubaidullah bin Muadz al-‘Anbari, dari Muadz al-‘Anbari, dari ‘Ashim yaitu Ibn Muhamamd bin Zaid, dari Zaid bin Muhammad, dari Nafi’, dari Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab,
Sanad kedua: dari Ibn Numair, dari Yahya bin Abdullah bin Bukair, dari Laits, dari Ubaidullah bin Abi Ja’far, dari Bukair bin Abdullah bin al-Asyaj, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar.
Hadis dalam makna hadis itu, juga diriwayatkan Imam Muslim melalui dua sanad, yaitu:
Sanad pertama: dari Umar bin Ali, dari Ibn Mahdi, dari Hisyam bin Saad, dari Zaid bin Aslam, dari Aslam, dari Abdullah bin Umar.
Sanad kedua: dari Muhammad bin Umar bin Jabalah, dari Bisyir bin Umar, dari Hisyam bin Saad, dari Zaid bin Aslam, dari Aslam, dari Abdullah bin Umar.
Adapun al-Baihaqi mengeluarkan hadis riwayat Ibn Umar tersebut dengan sanad: dari Syaiban bin Furwakh dari Abu al-Husain bin Bisyran di Baghdad, dari Abu Ja’far Muhammad bin Amru ar-Razaz, dari Isa bin Abdillah ath-Thuyalisi, dari Muhammad bin Sabiq, dari Ashim bin Muhammad bin Zaid, dari Nafi‘ dan dari Salim; keduanya dari Abdullah bin Umar.[2]
Imam ath-Thabrani meriwayatkannya dari Husain bin Ishaq at-Tastari, dari Yahya al-Hamani, dari Abu Bakr bin Iyasy, dari Ashim dari Abi Shalih, dari Muawiyah.[3]
Hadis Muawiyah dengan lafal berbeda namun saling menjelaskan dengan hadis tersebut diriwayatkan ath-Thabrani dari Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami, dari Abbas bin al-Husain al-Qunthuri, dari Aswad bin Amir, dari Abu Bakar bin Iyash, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Muawiyah.[4]
Abbas dikenal oleh banyak ulama hadis. Ia seorang yang tsiqah (terpercaya), termasuk salah seorang rawi dalam Shahîh al-Bukhâri.[5]
Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Muawiyah ini dengan sanad: dari Aswad bin Amir, dari Abu Bakar, dari Ashim, dari Abi Shalih, dari Muawiyah.
Faedah
Pertama: berita dalam hadis ini mengandung thalab (tuntutan). Adanya lafal laqiyallâh yawm al-qiyâmah lâ hujjat[an] lahu (dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah) merupakan qarînah (indikasi) yang tegas, yang menunjukkan bahwa melepaskan tangan dari ketaatan kepada Imam/Khalifah merupakan kemaksiatan/keharaman. Kemaksiatan ini terkait jika ada Imam (Khalifah).
Kedua: lafal selanjutnya: man mâta wa laysa fî ‘unuqihi bay’ah mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an] (siapa saja yang mati, sedangkan tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya seperti mati jahiliah) berkaitan dengan kondisi tidak ada Imam/Khalifah. Dua riwayat Muawiyah di atas saling menjelaskan. Lafal laysa fî ‘unuqihi bay’ah (tidak ada baiat di pundaknya) bisa diartikan laysa ‘alayhi imâm (tidak ada Imam/Khalifah atasnya).
Ketiga: lafal man mâta wa laysa fî ‘unuqihi bay’ah mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an] juga bermakna thalab (tuntutan). Lafal mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an] merupakan qarînah (indikasi) yang tegas, yang menyatakan wajibnya ada baiat di pundak setiap Muslim. Baiat sendiri hanya diberikan kepada Khalifah (Imam), tidak kepada yang lain. Jadi, yang diwajibkan adalah adanya baiat kepada Khalifah di pundak setiap Muslim, bukan agar setiap Muslim membaiat Khalifah secara langsung. Dengan kata lain, yang wajib adalah adanya Imam/Khalifah yang dibaiat oleh kaum Muslim. Dengan adanya Khalifah itu akan terealisasi adanya baiat di pundak setiap Muslim.
Dengan demikian, hadis ini merupakan dalil tentang wajibnya kaum Muslim mengangkat Khalifah/Imam, di pundak setiap Muslim. Sebab, yang dicela Rasul saw. adalah kosongnya pundak seorang Muslim dari baiat kepada Imam/Khalifah sampai ia meninggal.[6]
Karena sampai saat ini kewajiban membaiat atau mengangkat Imam/Khalifah ini belum terealisasi, maka kewajiban ini tetap menjadi tanggung jawab setiap individu Muslim sampai Imamah/Khilafah terwujud. Sudahkah kita berupaya melaksanakan kewajiban agung ini? Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Yahya Abdurrahman]

[1] Shahîh Muslim, III/1478, hadis no. 1851, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut. Tt.
[2] Al-Baihaqi (384-458 H), Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa bin Bakar, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VIII/156, ed, Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Maktabah Dar al-Baz, Mekah al-Mukarramah. 1414 H / 1994 M.
[3] Ath-Thabrani (260-360 H), Sulaiman bin Ahmad bin Ayub Abu al-Qasim, Mu’jâm al-Kabîr, IXX/334, hadis no. 769, ed. Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, Moushul, cet. ii. 1404 H/1983 M.
[4] Ath-Thabrani, Mu’jam al-Awsâth, VI/70, Dar al-Haramain, Kaero. 1415 H.
[5] Beliau adalah Abbas bin al-Husain al-Qunthuri, Abu al-Fadhl al-Baghdadi, dan kadang disebut al-Bashri. Beliau meriwayatkan hadis dari Yahya bin Adam, Mubasyar bin Ismail, Sa’id bin Maslamah al-Umawi, dan Abiy Usamah (Hammad) bin Usamah. Yang meriwayatkan hadis darinya adalah: Al-Bukhari, Hasan bin Ali al-Ma’mari, Muhammad bin Ubaid al-Qunthuri, Abdullah bin Ahmad. Ahmad bin Hanbal berkata: ia tsiqah (terpercaya). Abu Hatim menilainya majhûl. Ibn Hibban dan Ibn Hajar menilainya tsiqah. Menurut Ibn Hibban dan Abu Abdillah bin Mandah, beliau wafat tahun 240 H. (Lihat: Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, V/102, Dar al-Fikr, Beirut, cet I. 1404 H/ 1984 M; Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Taqrîb at-Tahdzîb, I/292, ed. Muhammad ‘Awamah, Dar ar-Rasyid, Suria, cet I. 1406 H/1986 M; Yusuf bin az-Zaki bin Abdurrahman Abu al-Hajaj al-Mazi (654–752), Tahdzîb al-Kamâl, XIV/207, ed. Dr. Basyar Awad Ma’ruf, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. I. 1400 H/1980 M.
[6] Qadhi Taqiyyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, diperluas dan dirinci oleh Syaikh Abd al-Qadim Zallum, hlm. 34-35, min mansyurat Hizb at-Tahrir, cet VI (mu’tamadah). 2002.

Hadist Pilihan : Kewajiban Hanya Satu Kholifah Bagi Dunia Islam


Keharaman Mengangkat Dua orang pemimpin (Kholifah) sebagai kepala negara ditegaskan oleh Hadits Rosulullah Saw. :
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.
(HR Muslim)[1]


Sanad Hadis
Hadis ini diriwayatkan Imam Muslim dari Wahab bin Baqiyyah al-Wasithi, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abi Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Abu Awanah[2] meriwayatkan hadis ini dari Abu Umayah, dari Amru bin Awn al-Wasithi, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Al-Baihaqi[3] meriwayatkannya dari dua jalur: Pertama: Dari Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Abdan, dari Ahmad bin Ubaid ash-Shafar, dari Ibn Abi Qumasy, dari Amru bin Awn, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri. Kedua: Dari Abu Abdillah al-Hafizh, dari Abu Bakar bin Abdillah, dari Hasan bin Sufyan, dari Wahab bin Buqiyyah, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Al-Qadhai[4] meriwayatkannya dari Abu Muhammad Abd ar-Rahman bin Umar bin an-Nihas, dari Abu Said bin al-A‘rabi, dari Abu Ishaq Ibrahim bin al-Walid al-Jasyasy, dari Ali bin al-Madini, dari Abd ash-Shamad bin Abd al-Warits, dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Said bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah.
Makna Hadis dan Faedahnya
Hadis ini mengandung pengertian, jika dibaiat dua orang khalifah, maka orang yang dibaiat lebih akhir harus dibunuh. Baiat atas orang yang pertama haruslah baiat yang sah secara syar‘i. Orang kedua, baik ia mengetahui adanya baiat pertama yang sah itu ataupun tidak, disuruh menanggalkan baiatnya dan segera membaiat Khalifah yang sah itu. Jika ia menolak, kata as-Suyuthi, ia harus diperangi meski sampai ia harus dibunuh; kecuali jika ia mengumumkan pembatalan baiat atas dirinya, berhenti dari merobek kesatuan kaum Muslim dan memecah jamaah mereka, berhenti menentang khalifah yang sah, dan segera memberikan baiat taat kepadanya.
Hadis ini memerintahkan kesatuan Khilafah. Kaum Muslim hanya boleh memiliki seorang khalifah dan satu Khilafah. Haram diakadkan baiat kepada dua orang, apalagi lebih. Ibn Hazm[5] menuturkan, kaum Muslim di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam/khalifah, baik keduanya saling sepakat ataupun berselisih, di dua tempat berbeda atau di tempat yang sama. Imam an-Nawawi[6] berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”
Dari praktik pembaiatan Khulafaur Rasyidin dapat disimpulkan, bahwa baiat itu harus dilakukan oleh mereka yang merepresentasikan kaum Muslim. Jadi, masalahnya bukan semata-mana siapa yang dibaiat paling awal, tetapi siapa yang paling awal dibaiat oleh mereka yang mencerminkan mayoritas atau bahkan seluruh kaum Muslim yang menjadi rakyat Daulah Khilafah. Masalahnya adalah mengangkat Khalifah, bukan kompetisi dalam Khilafah. Jika tidak, orang yang menginginkan Khilafah akan berpacu agar dibaiat lebih awal atau mengaku dibaiat lebih awal, meski hanya oleh sejumlah orang atau daerah yang tidak mencerminkan mayoritas kaum Muslim. Yang demikian dapat menyebabkan dharâr bagi umat.
Jika keduanya hanya dibaiat oleh sekelompok kecil dari umat dan tidak merepresentasikan mayoritas umat, atau jika tidak diketahui mana yang lebih dulu dan yang lebih akhir, atau keduanya dibaiat pada waktu bersamaan, maka Khilafah tidak terakadkan kepada siapapun dari keduanya. Tidak bisa juga diserahkan kepada keduanya untuk berembug siapa yang menjadi khalifah, karena baiat bukan milik mereka. Al-Khathib asy-Syarbini menyatakan, “Hak dalam Imamah/Khilafah adalah milik kaum Muslim, bukan milik keduanya. Karena itu, klaim keduanya tentang siapa yang lebih awal tidaklah bisa diterima. Jika salah satu mengakui baiat yang lain, maka batallah hak orang itu, dan tidak bisa ditetapkan hak Khilafah kepada yang lain itu kecuali dengan bukti.”[7]
Tidak bisa juga diundi di antara keduanya, karena baiat adalah akad, dan undian tidak ada tempatnya dalam akad. Akan tetapi, perkaranya dikembalikan kepada kaum Muslim. Keduanya ditetapkan sebagai calon dan disodorkan kepada kaum Muslim atau wakil-wakil mereka untuk dipilih sebagai khalifah. Siapa yang mendapat dukungan terbanyak, dialah yang dibaiat sebagai khalifah.
Semua ketentuan di atas adalah dalam kondisi ada Daulah Khilafah dan hendak diangkat seorang khalifah menggantikan khalifah sebelumnya. Jika Khilafah tidak ada seperti saat ini, maka masalahnya adalah kewajiban mewujudkan Daulah Khilafah itu dan mengangkat seorang khalifah melalui baiat. Jika sekelompok kaum Muslim di suatu wilayah negeri Islam membaiat seseorang, ia sah sebagai khalifah asal memenuhi syarat berikut: (1) memenuhi syarat in‘iqâd (legalitas) Khilafah; (2) ada wilayah yang jelas dan rakyatnya; (3) keamanan dan kekuasaan di wilayah itu berada di tangan kaum Muslim, bukan dikendalikan oleh asing; (4) Khalifah itu harus langsung menerapkan sistem (syariat) Islam secara menyeluruh dan sekaligus, tidak ditunda ataupun bertahap.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

[1] Imam Muslim (Muslim bin al-Hajaj Abu Al-Husayn al-Qusyairi an-Nisaburi, 206-261 H), Shahîh Muslim, bab idzâ bûyi’a li khalîfatayn, hadis no. 1853. III/1480, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut. t.t.
[2] Abu ‘Awanah, Musnad Abu ‘Awanah I, IV411, Dar al-Ma’rifah, Beirut, cet. I. 1998.
[3] Al-Baihaqi, Sunan al-Bayhâqî al-Kubrâ, VIII/144, maktabah Dar al-Baz, Makkah, 1994.
[4] Abu Abdillah al-Qadha’i, Musnad asy-Syihâb, I/447, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. II. 1986.
[5] Ibn Hazm, al-Muhalla, IX/360, Idârah at-Thabâ’ah al-Munîriyyah, Kairo. 1938 M.
[6] Imam an-Nawawi, Syarh an-Nawâwî ‘alâ Shahîh Muslim, XII/232, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arab, Beirut, cet. II. 1392 H.
[7] Lihat, Al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj, IV/132, Dar al-Fikr, Beirut. tt; lihat juga Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ`id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 313-319, Maktabah al-Muhtasib, cet. II. 1983.

KEUNGGULAN MATA UANG EMAS DAN PERAK

Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi sama sekali masalah-masalah moneter (masyakil naqdiyyah), seperti inflasi, fluktuasi nilai tukar, dan anjloknya daya beli. Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS dalam bukunya The Golden Constant telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil. (Nurul Huda dkk, 2008:104).
Masalah-masalah moneter itu justru terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan perak serta berpindah ke sistem uang kertas (fiat money), yaitu mata uang yang berlaku semata karena dekrit pemerintah, yang tidak ditopang oleh logam mulia seperti emas dan perak. Dalam sistem Bretton Woods yang berlaku sejak 1944, dolar masih dikaitkan dengan emas, yaitu uang $35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ounce emas (31 gram). Namun pada 15 Agustus 1971, karena faktor ekonomi, militer, dan politik, Presiden AS Richard Nixon akhirnya menghentikan sistem Bretton Woods itu dan dolar tak boleh lagi ditukar dengan emas. (Hasan, 2005). Mulailah era nilai tukar mengambang global yang mengundang banyak masalah. Dolar semakin terjangkit penyakit inflasi. Pada tahun 1971 harga resmi emas adalah $38 dolar AS per ounce. Namun pada tahun 1979 harganya sudah melonjak jadi $450 dolar AS per ounce. (El-Diwany, 2003).
Masalah-masalah moneter seperti itu hanya dapat diatasi oleh mata uang emas dan perak saja. Mengapa? Sebab emas dan perak mempunyai banyak keunggulan. Telaah ini bertujuan mengupas lebih dalam mengenai keunggulan-keunggulan sistem emas dan perak tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah (2004), khususnya bab Fawa`id Nizham Adz-Dzahab wa Al-Fidhdhah. (h. 224-dst).
Keunggulan Mata Uang Emas dan Perak
Syaikh Zallum menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut (h. 224-227) :
Pertama, emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga. Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi. Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang. Jadi, emas dan perak termasuk uang komoditi/uang barang (commodity money). (Nasution, 2008:241). Artinya, emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qimah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri. (Thabib, 2003:326).
Maka dengan menggunakan mata uang emas dan perak, suatu negara tidak akan dapat mencetak mata uang sesukanya lalu mengedarkannya ke pasar. Ini berbeda dengan uang kertas, suatu negara dapat saja mencetak uang kertas berapa pun ia mau, karena uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri. (Zallum, 2004:224). Ilustrasinya, untuk mencetak lembaran uang satu dolar AS, biayanya 4 sen dolar. Dengan anggapan 1 dolar senilai Rp 10.000, maka nilai 4 sen dolar hanya Rp 400 (1 dolar = 100 sen dolar). Kalau mau mencetak lembaran 100 dolar, biayanya juga masih sekitar 4 sen dolar itu. Inilah yang mengakibatkan The Fed (Bank Sentral AS) sangat leluasa mencetak dolar hampir unlimited sehingga menimbulkan inflasi permanen. (Hamidi, 2007:37). Namun untuk mencetak 1 lembaran uang senilai 1 dinar emas, diperlukan emas seberat 4,25 gram. Maka negara yang menggunakan standar dinar tidak bisa mencetak uang semaunya, kecuali dalam batas kuantitas emas yang dimilikinya. Uang yang beredar hanya bisa ditambah ketika negara menerima sejumlah emas baru dari pihak luar. Sebaliknya uang yang beredar bisa berkurang kalau ada orang yang menukarkan sebagian uangnya dengan emas. (El-Diwany, 2003:92).
Kedua, sistem emas dan perak akan menimbulkan kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia dikarenakan penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba. (h. 226). Emas biasanya tidak mudah ditemukan dalam jumlah berlimpah. Dalam perkiraan terbaik, persediaan emas global dalam 300 tahun terakhir hanya bertambah rata-rata 2 % per tahun. Tingkat pertumbuhan ini jauh di bawah pertumbuhan uang beredar berdasarkan perbankan modern yang menggunakan uang kertas. (El-Diwany, 2003:93). Dalam setahun, seluruh industri tambang emas dunia hanya menghasilkan kira-kira 2000 ton emas, sangat jauh di bawah produksi baja di AS saja yang menghasilkan 10.500 ton per jamnya pada tahun 1995. (Hamidi, 2007:109)
Ketiga, sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara secara otomatis, untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. (Zallum, 2004:226). Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance) antar negara. (Hamidi, 2007:137; Nurul Huda dkk, 2008:103).
Mekanismenya : jika suatu negara (misal negara A) impornya dari negara B lebih besar daripada ekspornya, maka akan makin banyak emas dan perak yang mengalir dari negara A itu ke negara B. Ini karena emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran. Kondisi ini akan mengakibatkan harga-harga di dalam negara A turun, lalu menyebabkan harga-harga komoditi dalam negara A lebih murah daripada komoditi impor dari negara B, dan pada gilirannya akan mengurangi impor dari negara B. Sementara dalam sistem uang kertas, jika terjadi ketekoran semacam ini, negara A akan mencetak lebih banyak uang, sebab tak ada batasan untuk mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli pada uang di negara A.
Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi, selama uang yang beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Karena negara khawatir tidak akan mampu melayani penukaran tersebut. (Zallum, 2004:226).
Keempat, sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang. (Zallum, 2004:227). Jika jumlah uang tetap, sementara barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara maksimal. Jika jumlah uang tetap, sedang barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001:144).
Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Jelaslah, sistem emas dan perak akan menghapuskan inflasi. Sedang sistem uang kertas sebaliknya akan menyuburkan inflasi. (Zallum, 2004:227).
Kelima, sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antar negara. Ini karena mata uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang, yaitu emas atau perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara (Zallum, 2004:227).
Benar hanya ada satu mata uang, karena satu ounce koin emas (31 gram) di AS, tidak akan berbeda dengan satu ounce koin emas di Jepang, Jerman, atau Perancis. Mungkin satu ounce emas itu akan diberi nama yang berbeda-beda di masing-masing negara ini, apakah diberi nama 20.000 Yen (Jepang), 200 Deutschemark (Jerman), 10.000.000 Rupiah (Indonesia), atau 1000 Franc (Perancis). Tetapi tidak akan ada biaya transaksi signifikan yang menggambarkan perbedaan kurs. Konsekuensinya, spekulasi mata uang asing (valas) tidak akan dapat lagi dilakukan dan perdagangan internasional pun akan makin bergairah, karena emas dan perak telah menghindarkan para eksportir/importir dari sumber ketidakpastian yang terbesar, yaitu kurs yang tidak tetap (fluktuatif). (El-Diwany, 2003:97).
Keenam, sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh setiap negara. Jadi emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain. Negara manapun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Mengapa? Sebab emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal. Emas dan perak tidak akan berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syara'. (Zallum, 2004:227; An-Nabhani, 2004:277). Contohnya : untuk mengimpor bahan pangan, alat-alat berat, persenjataan, atau untuk membayar tenaga ahli dari berbagai bidang dari luar negeri yang diperlukan untuk membangun negara Khilafah. Dengan kata lain, tidak akan ada keuntungan investasi asing yang dapat diterjemahkan sebagai kerugian mata uang dalam negeri. (El-Diwany, 2003:98).
Penutup
Itulah sekilas beberapa keunggulan mata uang emas dan perak yang diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah (2004), dengan pengayaan dari berbagai referensi berharga lainnya. Dengan memahami berbagai keunggulan itu, kita tak perlu lagi meragukan kemampuan mata uang emas dan perak dalam mengatasi masalah-masalah moneter yang menyengsarakan umat selama ini.
Namun kemampuan mata uang emas dan perak itu tak ada gunanya kalau hanya jadi wacana kosong di negeri-negeri Dunia Islam yang masih rela tunduk kepada hegemoni Barat pimpinan AS. Dengan patuh sebagai budak Barat, mereka memang masih bisa hidup sebagai "rumput", tapi bukan sebagai "pohon cemara". Mereka memang tidak terhempas angin, cuma diinjak-injak dengan hina. Hanya negara Khilafah kiranya yang akan mampu mengemban tugas memuliakan umat dengan emas dan perak. Allahu Akbar! [ ]
DAFTAR BACAAN
Abu Ar-Rasytah, Atha, Al-Azmat Al-Iqtishadiyah : Waaqi'uhaa wa Mu'aalajuthaa min Wijhah Nazhar Al-Islam, www.hizb-ut-tahrir.info
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (T.tp. : T.p), 1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2004
El-Diwany, Tarek, The Problem with Interest : Sistem Bunga dan Permasalahannya, Penerjemah Amdiar Amir, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana), 2003
Hamidi, M. Luthfi, Gold Dinar Sistem Moneter Global Yang Stabil dan Berkeadilan, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing), 2007
Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami (Al-Awraq Al-Naqdiyyah fi Al-Iqtishad A-Islami), Penerjemah Saifurrahman Barito & Zulfikar Ali, (Jakarta : RajaGrafindo Persada), 2005
Lubis, Abdur-Razzaq dkk, Jerat Utang IMF? Sebuah Pelajaran Berharga Bagi Para Pemimpin Bangsa-Khususnya Indonesia (Discredit Interest-Debt!), Penerjemah Rofik Suhud, (Bandung : Mizan), 1998
Nasution, Mustafa Edwin dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta : Kencana), 2007
Nurul Huda dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis, (Jakarta : Kencana), 2008
Salim, Fathi Muhammad, An-Naqd Ad-Duali, (T.tp. : T.p), Tt
Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyyah Inhidam Ar-Ra`sumaliyyah Al-Gharbiyyah, (T.tp. : T.p), 2003
Yusanto, Ismail dkk (Editor), Dinar Islam : Solusi Krisis Moneter, (Jakarta : PIRAC, SEM-Institute, Infid), 2001
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan III, 2004

HUKUM-HUKUM SYIRKAH

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
View Full Size ImagePengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
Hukum Dan Rukun Syirkah
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
(1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (2) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)." (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, "Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun." [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Daftar Pustaka
1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.
6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.